Pendidikan itu mahal. Sekolah negeri, meski sudah
digratiskan biaya operasionalnya, masih merupakan beban yang sulit dipikul bagi
segolongan orang tua siswa. Biaya untuk sampai ke sekolah, uang yang diperlukan
untuk mengisi perut di sela rehat adalah dua hal yang merupakan kebutuhan
primer siswa dalam bersekolah.
Pendidikan itu mahal. Sekolah swasta yang biaya operasionalnya
yang ditanggung oleh orang tua siswa bisa dibilang adalah ujian hidup bagi
orang tua. Semua orang tua siswa pasti akan berjuang menyekolahkan anaknya demi
menjadikan anaknya berpendidikan. Pada masa bayaran sekolah, tak jarang ditemui
orang tua yang rela meminjam kesana-kemari demi didapatnya kartu ujian, atau
bahkan menjual miliknya yang disayang demi didapat raport anaknya tanpa ditahan
karena belum bayaran. Sungguh, menuntut ilmu, bagi pelajar dengan latar belakang
ekonomi yang kurang adalah anugerah Tuhan yang amat sangat berharga.
Bagi
beberapa siswa, menuntut ilmu di sekolah merupakan hal yang mewah. Ilmu yang
didapat di sekolah harus dimaksimalkan untuk mengejar ketertinggalan dari
materi teman yang belajar di bimbel. Jangankan bermimpi bisa dibimbing oleh
kakak-kakak di lembaga bimbel, mimpi memiliki buku-buku tambahan untuk belajar
pun rasanya sulit untuk dibuat nyata. Lembaga bimbel mahal, buku tambahan
pelajaran mahal. Siswa hanya bisa belajar sendiri.
Citra
pendidikan yang mahal semakin membuat siswa bersedih saat asanya untuk belajar
di perguruan tinggi terhalang oleh keterbatasan biaya. Buku SBMPTN mahal,
bimbel mahal, belajar via internet berbayar. Siswa hanya bisa mengumpulkan
serpihan ilmu-ilmu yang dipelajarinya di sekolah untuk persiapan perang; perang
menaklukkan soal yang sangat asing bila belum berkenalan.
Saya mungkin salah satu dari siswa yang tergambar di atas.
Bedanya saya lebih beruntung. Saat itu, pertengahan 2014, saat belum ada Kartu
Jakarta Pintar, saya memiliki akses internet di Blackberry Curve replika untuk
mengunduh beberapa materi SBMPTN. Saya pelajari sendiri dalam himpitan layar
handphone berukuran 2 inci, dan voila, rasa
syukur tak terhingga pada Allah Ta’ala, saya bisa lulus SBMPTN pilihan pertama
di Universitas Negeri Jakarta.
Saya tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki saya di
bimbel, pun takkan mampu membiayai kakak terpelajar untuk datang mengajari
bagaimana cara memahami materi, menyelesaikan tugas, atau sekadar bercerita peluh
dan kisah di hati. Pendidikan menampakkan keterbatasan, tapi harus ada
seseorang yang percaya bahwa batas itu dapat dikaburkan, bahkan dihapuskan.
Mengajar, bukanlah perkara mudah. Keluwesan dalam
menyampaikan materi tidak bisa praktis dikuasai. Seperti mahirnya seorang
bermain bola karena latihan yang dijalani, mahirnya seorang pengajar pun lahir
dari tekadnya untuk berlatih. Berlatih dalam hal menguasai materi, menerjunkan
diri, dan langsung berinteraksi dengan objek kisah pendidikan ini; manusia-manusia
dengan kecerdasan luar biasa bernama siswa.
Sebagai
mahasiswa yang bercita jadi guru, diri ini masih kaku bertemu papan tulis,
spidol dan manusia berseragam sekolah. Semua ini karena kurangnya latihan dan
tekad untuk menceburkan diri ke dunia kesiswaan, ke dunia pendidikan.
Kabar mengenai
Karya Salemba Empat yang membuka formasi pengajar baru sangat menarik minat
saya. Baru saja malam sebelumnya saya menuliskan 70 mimpi yang didalamnya ada
satu mimpi untuk mengajar SBMPTN, saya merasa Allah memberi saya jalan,
menggiring saya untuk berlari mengejar mimpi. Seminggu sebelum mengetahui kabar
ini pula, saya habis membeli buku bekas SBMPTN di toko buku bekas, dan membeli
buku persiapan STAN di bazaar buku murah, berharap suatu saat buku-buku tersebut
dapat saya manfaatkan untuk saya bagi isinya, dan berita Rumus KSE menjawab
semua hal ini.
Sebagai mantan
siswa yang tak pernah belajar di lembaga bimbingan; mahasiswa bidikmisi yang
seharusnya mengabdi, saya sangat ingin berbagi tanpa ada uang yang
diiming-imingi. Saya tak ingin rasa pamrih itu muncul saat saya menerima uang
yang terbungkus amplop pada penghujung hari. Saya sudah mengalami itu
berbulan-bulan dan sangat berbeda sekali rasanya saat saya mendapat balasan
lain selain materi. Jiwa ini tak terbebani, karena uang tersebut bisa dipakai oleh
siswa untuk membeli kebutuhannya yang lain.
Mengajar tanpa dibayar akan memberi senyum yang lebih
merekah pada wajah siswa, pun bahagia yang takhingga pada hati sang pengajar.
Saya, ingin sekali menambah pengalaman, mengajar tanpa di bayar. Membantu,
sebisa yang saya mampu. Menghapus batas-batas pendidikan, dengan mengajar
SBMPTN di Rumus KSE.
Mengajar dengan tepat waktu merupakan kewajiban guru. Bila
saya terpilih menjadi pengajar Rumus KSE, saya siap untuk mengajar secara tepat
waktu, karena tepat waktu adalah suatu kewajiban, bukan pilihan.
PS: Udah bikin esai, eh nggak wawancara karena kebentur agenda lain. Jadinya esai ini jadi kenang-kenangan aja deh :)