Langit yang tadinya biru mulai beringsut
menjadi abu kala Naila berada di dalam sebuah angkutan kota bernama kopaja.
Kopaja jurusan Pulogadung-Manggarai itu cukup sesak di jam pulang kantor pada sekitaran
pukul lima. Naila baru sekali menaiki angkutan kota jurusan ini. Akhir-akhir
ini ia berkeras ingin menaiki angkutan umum yang disediakan pemerintah DKI
Jakarta untuk mengantarnya pulang dan pergi ke kampus tercintanya, Universitas Negeri
Jakarta. Naila masih bergidik ngeri saat mengingat momen pertamanya mengobrol
enam mata dengan Pak Polisi, empat mata milik Naila-Naila berkacamata- dan dua
mata milik Pak Polisi. Naila masih mengingat tajamnya dua bola mata yang
membuatnya bermimpi ditilang polisi 3 malam berturut-turut setelah kejadian itu.
Ya, efek shock dan sedikit depresi.
Naila jadi ingat kegilaan tadi
pagi. Tadi pagi, ia pamer bahwa ia pergi ke kampus naik kereta dan
diintegrasikan dengan transjakarta. Tadi pagi, hampir semua anak di kelas
mendengarkan kisah tragis seorang Naila yang habis ditilang oleh polisi. “Iya,
Naila habis ditilang polisi rabu kemarin makanya dia jadi anak kereta sama anak
busway”, terang salah satu teman Naila pada teman kelasnya yang telat
mendengarkan kisah seru Naila tadi. Jelaslah
sekarang apa alasannya Naila si anak motor berhijrah mengurangi kemacetan
dengan menjadi anker-anak kereta, dan anbus-anak bus (busway dan buskota).
Usut punya usut, si Naila ini
belum punya sim dan rabu sore yang apes itu, Naila ketangkap basah oleh polisi yang langsung mengikat matanya pada
pandangan pertama. Naila didakwa menjadi tersangka pada dua pelanggaran
sekaligus; tidak punya sim dan mengendarai motor yang pelat nomornya sudah basi
alias sudah habis masa berlakunya. Judul penilangan ini bukan tilang stnk untuk
disidang, tapi tilang moral, m-o-r-a-l. Ya, Pak Polisi tidak menilang stnk motor
kadarluasa Naila, tapi Pak Polisi hanya sedikit menyayat moral Naila. Sayatan
yang dibuat Pak Polisi dalam sekali. Lukanya, walaupun seminggu setelah
kejadian naas itu berlalu, masih terasa perih sekali. Jadilah sejak saat itu, Naila
tobat naik motor.
“Orang-orang masih aja pada pura-pura
tidur. Gak lihat apa ada orang tua di depan matanya!”
Naila yang sedang asik melamun
sambil memejamkan mata tertegun mendengar ucapan sarkastik laki-laki barusan.
Sontak ia membuka mata. Benar ada seorang bapak tua berdiri di depannya.
“Oh maaf, Pak, saya gak tau”,
Naila memeluk ranselnya, berdiri dan mempersilahkan bapak tersebut menduduki
singgasana yang baru 10 menit dikuasainya.
Naila berdiri. Disampingnya ada
seorang ibu-ibu yang bersandar pada bangku penumpang. Naila tahu bahwa ibu ini
tak ingin capek-capek memaksa lengannya bergelantung pada tali keras yang
menggantung di langit-langit kopaja. Di sampingnya juga ada seorang laki-laki muda
yang mungkin seusia dengan Naila. Naila melirik laki-laki tersebut sebentar, ia
memicingkan matanya sedikit untuk mengambil ganbar si dia dalam ingatan Naila -orang
yang barusan menyindirnya dan membuatnya sedikit malu di mata seisi kopaja
tersebut. Sebelum kepergok dan dikenai pasal karena memperhatikan laki-laki
yang sepertinya sedikit sentimental itu, Naila membuang pandangannya ke jalan
yang sesak oleh motor dan mobil pribadi. Mereka berserakan, tumpah ruah bagai
mainan adik Naila yang dihambur-hamburkan di kamar Naila setiap malam pukul
enam.
Tujuan Naila adalah stasiun Manggarai.
Naila pernah sekali kesana bersama teman kelasnya tapi baru kali ini Naila
pulang sendirian. Naila tiba-tiba teringat pada fakta yang dipercayai teman
Naila tentang stasiun Manggarai. Katanya stasiun Manggarai itu seram dan angker
karena bangkai kepala kereta yang kecelakaan di Bintaro beberapa tahun lalu
disemayamkan disana. Masa bodoh, batin Naila, banyak orang ini kok kenapa harus
takut sama hal kayak gitu.
“Hujan?” Naila mulai resah bagaimana
nasib dirinya yang tak membawa payung. Tapi sedetik kemudian Naila malah senang,karena
inilah kesempatan baginya untuk membuat kenangan mandi hujan di perjalanan
pulang. Ia ingin mandi hujan. Tapi saat ia ingat kalau jarak dari terminal bus
sampai stasiun begitu jauh, dan saat ia ingat teman kelasnya pernah membuat private message tentang kehujanan dan
masuk angin karena menerobos hujan, Naila mengurungkan niatnya. Ia juga tak bisa
membayangkan nanti di dalam kereta yang ber-AC atau berkipas angin, seonggok
Naila menjadi makhluk astral sendirian, basah kuyup di tengah kerumunan
orang-orang kantoran yang berbaju rapi.
Semua orang berlomba turun dari
kopaja bak air hujan yang mengalir dari atas atap rumah Naila. Hujan menjebak
orang-orang di kolong jembatan. Banyak yang berteduh di kolong jembatan tapi
Naila terus berjalan, mengekor kawan-kawan yang tak menganggap Naila kawan di
kopaja tadi. Kawan-kawan se-kopaja Naila mulai membuka payung warna-warni
mereka dan berlarian melawan derasnya hujan dari bawah payung mereka. Beberapa
anak kecil berusia di bawah 10 tahun menawarkan jasa ojek payung tapi Naila
pikir ia belum butuh itu. Kebetulan di depan jalan ada sebuah tenda kaki lima
yang kosong. Banyak pejalan kaki yang kebanyakan laki-laki berteduh disitu. Apa
boleh buat, daripada basah kuyup, Naila menyelipkan dirinya diantara orang-orang
itu lalu diam tanpa kata memandangi hujan yang tak menginginkan perjalanan
pulangnya semudah membalikkan telapak tangan. Apalah nasib seorang jomblo
seperti Naila. Pergi pulang kuliah sendiri. Terjebak hujan sendiri. Linglung
sendiri. Tapi ntidak mengapa, asal jangan tersesat sendiri.
“Mba, ini bangkunya kosong”, ujar
seorang bapak di belakang Naila. Mempersilahkan Naila duduk di bangku panjang
yang memang tak ada yang duduki. “Oh, iya Pak”. Naila duduk di ujung bangku
panjang itu. Sekali lagi Naila hanyut dalam pikirannya sendiri. Hujannya gak
reda-reda, batin Naila.
******* Bersambung ********
hujan2 di angkot memang pas buat merenung memandang rintik hujan.. tapi hati2 jangan sampai hanyut dan jadi galau haha..
BalasHapusbtw bisa saling folback blog gak?
Ahaha, abis kalau hujan merenungkan apa lagi selain merenungkan anak orang, galau deh:p
HapusUdah difollow ya, tapi lo blm follow blog ini..