Sabtu, 14 Maret 2015

Catatan Tadi Pagi: Oh Jakarta..

Dulu aku menganggap engkau asri.
Sejak aku lahir.
Tanah ditumbuhi pepohonan tinggi memberi kesan hijau pada setiap sudut kota dan kampung.
Di kampungku, masih ada kebun hijau. Dulu.
Di kampungku, masih ramai penduduk yang bergotong-royong. Dulu.
Tiba-tiba orang ber-uang datang.
Merasa uang dapat memberinya segala hal.
Ia beri iming-iming uang dalam jumlah besar agar para warga di kampungku pergi dari daerah yang ia tahu suatu hari nanti akan menjadi daerah perkotaan besar yang memiliki nilai jual tinggi untuk setiap meternya.
Kami apa.
Kami begitu senang atas berita akan digusurnya tempat tinggal kami.
Senang karena setiap meter tanah yang kami tinggali akan dihargai dengan rupiah yang bagi kami tak sedikit harganya.
Akhirnya terjadilah kesepakatan antara orang ber-uang itu dan warga di kampungku.
Perlahan-lahan beberapa rumah diratakan dengan tanah.
Rumah 2 sahabatku.
Musholla di samping rumahku.
Dan beberapa rumah lainnya.
Tapi rumahku tidak digusur.
Rumahku disisakan dengan beberapa rumah lainnya entah dengan tujuan apa.
Yang terlihat, perkampungan yang dulu padat dengan orang bercakap-cakap, kini tak seperti dulu.
Perkampungan yang dulunya tiap malam hari dipenuhi cahaya lampu-lampu dari rumah warga, kini redup. Bahkan gelap.
Kini sekadar ingin membeli sayur atau semur di RT sebelah harus melewati jalanan yang tak berpenerangan.
Yang dulu ketika aku kecil, aku tak berani melewati jalan itu pada malam hari karena takut akan ada yang mengikutiku.
Kini sudah 11 tahun setelah tragedi penggusuran yang membuatku ditinggalkan sahabatku yang entah dimana sekarang.
Pergi mengikuti orang tuanya yang selalu berpindah dan tak memberi kabar.
Sebelumnya, bekas reruntuhan rumah itu masih ada.
Kini, mereka mulai memperlihatkan keangkuhannya.
Dibatasi setiap tanah yang mereka miliki dengan seng-seng yang tak bernilai estetis itu.
Membuat pemandangan tak indah saat melewatinya.
Membuat jalan menjadi semakin sempit karena seng pembatasan itu.
Mereka mulai menutup jalan warga.
Mereka bersikukuh bahwa jalan itu adalah tanah milik mereka.
Mereka beralibi ingin membuat sebuah rumah untuk keperluan mereka.
Padahal, itu pasti taktik mereka agar kami mulai tidak betah tinggal di kampung kami dan pergi dari sini.
Kini, jalan mulai susah.
Sudah 2 jalan yang mereka tutup.
Tinggal menunggu kelanjutan gerak-gerik mereka.
Mungkin 3 tahun, 4 tahun, atau tahun-tahun berikutnya, rumahku pun akan rata dengan tanah lalu berubah menjadi apartemen menjulang tingggi seperti apartemen-apartemen yang telah mengepung perkampunganku.

Dahulu, yang kutahu jalanan dari kampungku ya hanya segitu-segitu saja.
Jalan besar dekat rumahku itu yang kutahu lancar-lancar saja.
Kini saat aku harus mengendarai motorku setiap hari ke tempat kuliahku di Jakarta Timur, akhirnya aku tahu belangnya Jakarta.
Jalanan itu, yang hanya berjarak beberapa meter dari rumahku, rasanya sulit sekali memajukan motorku barang sekali gas saja.
Kukira 'Jakarta mulai menggila'.
Padahal 'Jakarta sudah lama gila'.
Gila apa?
Jalanan segitu-segitu saja.
Yang melewatinya meningkat tiap harinya.
Aku ini anak baru.
Aku dipaksa berani oleh Jakarta.
Tempat kuliahku tak begitu jauh tapi untuk menjangkaunya butuh perjuangan besar.
Karena tak ada yang mengantarku tiap hari kesana, aku harus mengendari motor milik almarhum ayahku tiap hari mundar-mandir Rawamangun- Rawasimprug.
Telat berangkat sedikit saja.
Habis riwayatku.
Bermacet-macet ria.
Pergi pagi, pulang malam.
Pergi duduk di atas motor 1 jam.
Pulang duduk di atas motor 1 jam bahkan lebih.
Rasanya ingin terbang saja melayang dengan motorku di atas mobil dan motor yang sedang berebut ruas jalan yang sempit.
Saat bau sisa pembakaran bensin menyengat indera penciumanku.
Saat knalpot mengeluarkan asap dan bunyi yang mengiung-ngiung di telingaku.
Saat motor menyerobot kesana kesini membuat jari tengah ini menarik rem tiba-tiba.
Saat lubang-lubang di jalan dan lubang di sela rel kereta api membuat motor dan tubuhku 'gedebrak-gedebruk' saat melewatinya.
Lelah dan sakit sekali.
Dan ketika ku tengok tiap mobil yang sedang bermacet ria disampingku.
Mereka sendiri.
Dalam sebuah mobil.
Mobil besar.
Yang bila dibanding dengan motor, mereka dapat dihitung sebagai 4 motor yang berjejer.
Oh pemerintah Jakarta.
Sadarlah siapa yang membuat Jakarta menggila seperti ini.
Mobil pribadi yang diisi satu orang itu.
3/4 jalan mereka pergunakan.
Motor hanya diberi 1/4 dari ruas jalan.
Bahkan ada dan banyak mobil yang begitu angkuhnya mengendarai mobilnya begitu di sisi kiri jalan hingga motor tak bisa lewat bahkan menyelip.
Mengapa malah menggembar-gemborkan mobil murah dikala semrawutnya jalanan jakarta?
Mengapa melarang motor melintas dan tak memikirkan bahwa jalan lain akan semakin menumpuk kemacetannya?
Menyuruh pengendara motor beralih ke angkutan umum massal agar tak macet?
Perbaiki dulu sistem transportasinya, Pak.
Busway begitu langka.
Bila ditunggu butuh waktu yang tak sebentar.
Sedang waktu terus mengejar-ngejar orang atas kegiatannya.
Di sisi lain tak banyak pengendara motor yang memiliki akses yang mudah untuk menjangkau lokasi adanya transportasi massal itu.
Banyak yang musti diperhitungkan sehingga para pengendara motor rela berpanas-panasan, berdingin-dinginan dan bermacet-macetan di jalan.
Akhir kata.
Jakarta, takkan berubah segitu cepatnya.
Bila ingin Jakarta lengang, tunggu saja lebaran yang hanya sekali dalam setahun.
Terobos saja banjir yang menggenang itu.
Atur waktu dengan baik.
Sadar diri bahwa berangkat pagi sebelum macet itu lebih baik daripada mempersulit diri bermacet-macetan.
Dan bila macet selalu menyertai setiap perjalanan pergi dan pulangmu.
Ingatlah, Allah pasti sedang menguji kesabaranmu.
Allah sedang melihat seberapa ikhlas niatmu untuk menuntut ilmu.
Semua tercermin dari seberapa berat dan seberapa jauhnya jalan yang harus kau tempuh.
Jangan lupa, setiap langkah maupun roda yang menggelinding dalam tujuan menuntut ilmu karena Allah Ta'ala adalah bernilai pahala.
Jika kita ikhlas berniat 'Lillahi Ta'ala'.

Kiki Rizkiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ESSAY PENGAJAR SBMPTN KSE UNJ

Pendidikan itu mahal. Sekolah negeri, meski sudah digratiskan biaya operasionalnya, masih merupakan beban yang sulit dipikul bagi segol...