Kamis, 19 Januari 2017

ESSAY PENGAJAR SBMPTN KSE UNJ



Pendidikan itu mahal. Sekolah negeri, meski sudah digratiskan biaya operasionalnya, masih merupakan beban yang sulit dipikul bagi segolongan orang tua siswa. Biaya untuk sampai ke sekolah, uang yang diperlukan untuk mengisi perut di sela rehat adalah dua hal yang merupakan kebutuhan primer siswa dalam bersekolah.

Pendidikan itu mahal. Sekolah swasta yang biaya operasionalnya yang ditanggung oleh orang tua siswa bisa dibilang adalah ujian hidup bagi orang tua. Semua orang tua siswa pasti akan berjuang menyekolahkan anaknya demi menjadikan anaknya berpendidikan. Pada masa bayaran sekolah, tak jarang ditemui orang tua yang rela meminjam kesana-kemari demi didapatnya kartu ujian, atau bahkan menjual miliknya yang disayang demi didapat raport anaknya tanpa ditahan karena belum bayaran. Sungguh, menuntut ilmu, bagi pelajar dengan latar belakang ekonomi yang kurang adalah anugerah Tuhan yang amat sangat berharga.

            Bagi beberapa siswa, menuntut ilmu di sekolah merupakan hal yang mewah. Ilmu yang didapat di sekolah harus dimaksimalkan untuk mengejar ketertinggalan dari materi teman yang belajar di bimbel. Jangankan bermimpi bisa dibimbing oleh kakak-kakak di lembaga bimbel, mimpi memiliki buku-buku tambahan untuk belajar pun rasanya sulit untuk dibuat nyata. Lembaga bimbel mahal, buku tambahan pelajaran mahal. Siswa hanya bisa belajar sendiri.

            Citra pendidikan yang mahal semakin membuat siswa bersedih saat asanya untuk belajar di perguruan tinggi terhalang oleh keterbatasan biaya. Buku SBMPTN mahal, bimbel mahal, belajar via internet berbayar. Siswa hanya bisa mengumpulkan serpihan ilmu-ilmu yang dipelajarinya di sekolah untuk persiapan perang; perang menaklukkan soal yang sangat asing bila belum berkenalan.

Saya mungkin salah satu dari siswa yang tergambar di atas. Bedanya saya lebih beruntung. Saat itu, pertengahan 2014, saat belum ada Kartu Jakarta Pintar, saya memiliki akses internet di Blackberry Curve replika untuk mengunduh beberapa materi SBMPTN. Saya pelajari sendiri dalam himpitan layar handphone berukuran 2 inci, dan voila, rasa syukur tak terhingga pada Allah Ta’ala, saya bisa lulus SBMPTN pilihan pertama di Universitas Negeri Jakarta.


Saya tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki saya di bimbel, pun takkan mampu membiayai kakak terpelajar untuk datang mengajari bagaimana cara memahami materi, menyelesaikan tugas, atau sekadar bercerita peluh dan kisah di hati. Pendidikan menampakkan keterbatasan, tapi harus ada seseorang yang percaya bahwa batas itu dapat dikaburkan, bahkan dihapuskan.

Mengajar, bukanlah perkara mudah. Keluwesan dalam menyampaikan materi tidak bisa praktis dikuasai. Seperti mahirnya seorang bermain bola karena latihan yang dijalani, mahirnya seorang pengajar pun lahir dari tekadnya untuk berlatih. Berlatih dalam hal menguasai materi, menerjunkan diri, dan langsung berinteraksi dengan objek kisah pendidikan ini; manusia-manusia dengan kecerdasan luar biasa bernama siswa.

            Sebagai mahasiswa yang bercita jadi guru, diri ini masih kaku bertemu papan tulis, spidol dan manusia berseragam sekolah. Semua ini karena kurangnya latihan dan tekad untuk menceburkan diri ke dunia kesiswaan, ke dunia pendidikan.

            Kabar mengenai Karya Salemba Empat yang membuka formasi pengajar baru sangat menarik minat saya. Baru saja malam sebelumnya saya menuliskan 70 mimpi yang didalamnya ada satu mimpi untuk mengajar SBMPTN, saya merasa Allah memberi saya jalan, menggiring saya untuk berlari mengejar mimpi. Seminggu sebelum mengetahui kabar ini pula, saya habis membeli buku bekas SBMPTN di toko buku bekas, dan membeli buku persiapan STAN di bazaar buku murah, berharap suatu saat buku-buku tersebut dapat saya manfaatkan untuk saya bagi isinya, dan berita Rumus KSE menjawab semua hal ini.

            Sebagai mantan siswa yang tak pernah belajar di lembaga bimbingan; mahasiswa bidikmisi yang seharusnya mengabdi, saya sangat ingin berbagi tanpa ada uang yang diiming-imingi. Saya tak ingin rasa pamrih itu muncul saat saya menerima uang yang terbungkus amplop pada penghujung hari. Saya sudah mengalami itu berbulan-bulan dan sangat berbeda sekali rasanya saat saya mendapat balasan lain selain materi. Jiwa ini tak terbebani, karena uang tersebut bisa dipakai oleh siswa untuk membeli kebutuhannya yang lain.

Mengajar tanpa dibayar akan memberi senyum yang lebih merekah pada wajah siswa, pun bahagia yang takhingga pada hati sang pengajar. Saya, ingin sekali menambah pengalaman, mengajar tanpa di bayar. Membantu, sebisa yang saya mampu. Menghapus batas-batas pendidikan, dengan mengajar SBMPTN di Rumus KSE.

Mengajar dengan tepat waktu merupakan kewajiban guru. Bila saya terpilih menjadi pengajar Rumus KSE, saya siap untuk mengajar secara tepat waktu, karena tepat waktu adalah suatu kewajiban, bukan pilihan.

PS: Udah bikin esai, eh nggak wawancara karena kebentur agenda lain. Jadinya esai ini jadi kenang-kenangan aja deh :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ESSAY PENGAJAR SBMPTN KSE UNJ

Pendidikan itu mahal. Sekolah negeri, meski sudah digratiskan biaya operasionalnya, masih merupakan beban yang sulit dipikul bagi segol...